Kamis, 20 Agustus 2020

Konsep ta'nits dalam bahasa arab

 A. Pendahuluan

      Bahasa Arab termasuk salah satu bahasa yang mengenal adanya pengelompokan kata berdasarkan jenis kelaminnya (al-tadzkir dan al-ta'nits). Hal itu terlihat jelas dalam beberapa kosa kata serta tarkib yang ada di dalamnya, bagi orang-orang non-arab persoalan di atas merupakan salah satu persoalan yang paling sulit mereka hadapi saat mereka mempelajari bahasa Arab, oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis tertarik menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan konsep ta'nits dalam bahasa arab

B. Definisi Muannats

     Menurut abu Hamzah Yusuf al-atsary Muannats adalah kata benda yang menunjukkan perempuan baik manusia, binatang, atau benda-benda mati yang masuk dalam kategori Muannats, contoh:

عائشة   = Aisyah

الدجاجة = ayam betina

الشمس = matahari

Adapun cara membedakan kata benda ini dengan kata benda mudzakkar adalah dengan dua cara, yaitu:

1. Dengan melihat jenis kelaminnya, ciri ini disebut dengan ciri yang hakiki. Contoh:

أُمٌّ      = ibu

فاطِمَةُ = Fatimah

الدُّجَاجَةُ = ayam betina

2. Dengan melihat tanda-tanda ta'nits di dalamnya, yaitu:

a. Yang diakhirnya terdapat ta' marbuthoh (ة), contoh:

الشَّجَرَةُ     = pohon

اَلسَّبُّورَةُ     = papan

الْمَدْرَسَةُ    = sekolah

b. Yang diakhirnya terdapat Alif zaidah mamdudah (اء), contoh:

حَمْرَاءُ   = merah

حَضْرَاءُ  = hijau

صَفْرَاءُ   = kuning

c. Yang diakhirnya terdapat Alif ta'nits maqsuroh, contoh:

كُبْرَي   = besar

وُسْطَى = tengah

C. Pembagian kata benda Muannats

    Dalam tata bahasa Arab, para ulama' mengelompokkan kata benda Muannats menjadi lima macam, yaitu:

1. Muannats haqiqi: yaitu kata benda yang menunjukkan arti perempuan dari kalangan manusia ataupun binatang terlepas apakah di dalamnya terdapat tanda ta'nits atau tidak, contoh

لَيْلَى     (Layla)

عزيزة   (Azizah)

أَتَانٌ     (keledai betina)

نَعْجَةٌ   (domba betina)

2. Muannats majazi:  adalah kata yang diperlakukan sama seperti perempuan oleh masyarakat arab namun tidak berasal dari golongan manusia ataupun binatang melainkan dari benda mati (baik ada tanda ta'nits ya atau tidak), contoh:

سَبُّورَةٌ    = papan 

سَيَّارَةٌ     = mobil

شَمْسٌ     = matahari

3. Muannats lafdzi : yaitu kata yang memiliki tanda ta'nits di akhir hurufnya (baik haqiqi atau majazi) namun secara makna kata tersebut adalah laki-laki bukan perempuan, contoh:

حَمزة   (Hamzah)

طَلْحَة   (tholhah)

حُذَيْفَة  (hudzaifah)

4. Muannats ma'nawi: yaitu kata yang tidak mempunyai tanda ta'nits di akhir hurufnya namun secara makna kata tersebut adalah perempuan (baik haqiqi atau majazi), contoh:

زَيْنَبُ   (Zainab)

هِنْدٌ     (Hindun)

دَارٌ       (rumah)

شَمْسٌ   (matahari)

5. Muannats lafzdi-ma'nawi: yaitu kata yang menunjukkan makna perempuan serta memiliki tanda ta'nits di akhir hurufnya. Contoh:

عَفِيفَةْ   (Afifah)

رُقَيَّة     (ruqoyyah)

Keterangan:

Dalam beberapa kasus, terkadang satu kalimat bisa menyandang lebih dari satu status, contoh:

عَفِيفَةُ   [ haqiqi-lafdzi maknawi]

زَيْنَبْ    [haqiqi-maknawi]

سَبُّورَةٌ  [ majazi-lafdzi maknawi]





Senin, 04 November 2019

MAF'UL MUTHLAQ (MASHDAR)

Definisi maful muthlaq
Maf’ul muthlaq atau lebih dikenal dengan mashdar adalah isim yang dibaca nashab yang terbentuk dari fiil di depannya serta disebutkan bersama fiilnya sebagai penguat makna, penjelas sifat serta penjelas jumlah. Contoh:
سَجَدْتُ سُجُودًا                                                                    "aku benar-benar bersujud"    
نِمْتُ نَوْمًا عَمِيقًا                                                                    "aku tidur dengan nyenyak"
جَلَسْتُ الْجُلُوسَ                                                          "aku duduk dengan cara tersebut"
جَلَسْتُ جُلُوسَ الْعُلَمَاءِ                        "aku duduk seperti cara duduknya para ulama’
سَجَدْتُ سَجْدَةً                                                                          "aku bersujud satu kali"
سَجَدْتُ سَجْدَتَيْنِ                                                                        "aku bersujud dua kali"
سَجَدْتُ سَجْدَاتٍ                                                                   "aku bersujud berkali-kali"
Keterangan:
Coba perhatikan kata-kata yang diberi garis dalam contoh di atas, kata-kata tersebut adalah isim-isim yang dibaca nashab  yang dikenal dengan sebutan mashdar.
Dan coba kemudian kamu telusuri dari kata apakah mashdar-mashdar di atas terbentuk? Maka setelah kita telusuri lebih lanjut kita mendapati  bahwa mashdar tersebut terbentuk dari fiil yang ada di depannya yaitu (سَجَدَ  سُجُودًا ـ نِمْتُ نَوْمًا ـ جَلَسَ جُلُوسًا).
Kemudian coba kita amati contoh-contoh di atas dan kita bahas sedikit tentang makna dibalik kalimat tersebut maka kemudian kita dapat melihat bahwa mashdar-mashdar di atas dapat memberikan makna baru dalam suatu pembicaraan.
kata (سُجُودًا) dalam susunan kata (سَجَدْتُ سُجُودًا) dipakai untuk menegaskan bahwa si pembicara benar-benar bersujud serta meminta lawan bicaranya untuk tidak meragukan apa yang ia sampaikan.                       
Sementara kata (نَوْمًا عَمِيقًا) dalam susunan kata (نِمْتُ نَوْمًا عَمِيقًا), serta kata ( جُلُوسَ الْعُلَمَاءِ) dalam susunan kata (جَلَسْتُ جُلُوسَ الْعُلَمَاءِ) dipakai untuk menjelaskan sifat duduk dan tidurnya orang tersebut. tanpa keduanya mustahil seseorang  bisa mengetahui posisi duduk maupun tidurnya orang tersebut.
Sedangkan kata (سَجْدَةً), (سَجْدَتَيْنِ), serta kata (سَجْدَاتٍ) dalam susunan kalimat di atas dipakai untuk menerangkan banyaknya sujud yang ia lakukan, dan apabila ketiga kata tersebut dihilangkan maka seseorang tidak mungkin dapat mengetahui berapa kali ia bersujud apakah sekali, dua kali atau bahkan berkali-kali.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.  Apabila maf'ul mutlaq-nya (mashdar) berdiri sendiri maka kata tersebut digunakan sebagai penguat makna (li ta’kidil fi’li). Contoh:
رَفَسْتُ رَفَسًا                                                                  "aku benar-benar menendang"  
2.  Apabila maf’ul muthlaq-nya (mashdar) diberi kata keterangan sifat (naat), mudhaf ilaih, atau diberi alif dan lam (ال) maka kata tersebut digunakan sebagai penjelas sifat (li bayaninnau’i) contoh:
رَفَسْتُ رَفَسًا شَدِيدًا                                     "aku menendang dengan tendangan keras"
رَفَسْتُ رَفَسَ الْمُصَارِعِ                                                  "aku menendang seperti pegulat"
رَفَسْتُ الرَّفَسَ                                                  "aku menendang dengan cara tersebut"
3.    Apabila maf’ul muthlaq-nya (mashdar) diubah ke dalam bentuk (فَعْلَةً) maka kata tersebut digunakan sebagai penjelas bilangan (li bayanil adadi). Contoh:
رَفَسْتُ رَفْسَةً                                                                          "aku menendang sekali"
رَفَسْتُ رَفْسَتَيْنِ                                                                    "aku menendang dua kali"
رَفَسْتُ رَفْسَاتٍ                                                              "aku menendang berkali-kali"
Isim-isim yang dapat dipakai sebagai pengganti mashdar
 dalam kitab jami’ al-durus al-arabiyah disebutkan bahwa ada beberapa macam isim yang dapat dipakai sebagai ganti dari mashdar dalam menjalankan fungsi serta kedudukannya sebagai maf’ul muthlaq, yaitu:
1.      Sinonimnya, seperti قَامَ زَيْدٌ وُقُوفًا  (aku benar-benar berdiri)
(kata وُقُوفًا  merupakan sinonim dari kata قِيَامًا )
2.   Mashdar yang tidak terbentuk dari fiil di depannya namun memiliki akar kata yang sama dengan fiil di depannya, seperti
وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا                    "dan alah telah membesarkanmu dengan baik"
 (kata نَبَاتًا tidak terbentuk dari kata أَنْبَتَهَا namun terbentuk dari fiil lain yang memiliki  persamaan akar kata dengan kata أَنْبَتَهَا yaitu kata نَبَتَ)
3.     Sifatnya, seperti يَعِيشُ الْمُسْلِمُونَ سَعِيدَةً  (orang-orang islam hidup bahagia)
Bentuk aslinya adalah  يَعِيشُ الْمُسْلِمُونَ عَيْشَةً سَعِيدَةً   namun setelah mashdarnya (عَيْشَةً) dihapus maka kata sifat yang terletak sesudahnya (سَعِيدَةً) menggantikan peran serta kedudukan mashdar di depannya sebagai maf’ul muthlaq.
4.      Kata yang menunjukkan kepada jumlahnya, seperti:
أُسَلِّمُ عَلَيْكَ ثَلاَثًا                      "aku mengucapkan salam kepadamu sebanyak tiga kali"
Bentuk aslinya adalah   أُسَلِّمُ عَلَيْكَ ثَلاَثَ تَسْلِيمَاتٍ

Sabtu, 16 Maret 2019

WAU ATHOF DAN WAU MAIYAH


Dalam tata bahasa arab, terdapat beberapa jenis huruf wau yang dikenal oleh para ahli nahwu, salah satu diantaranya ialah waw athaf dan wau maiyah. Kendati keduanya sama-sama berupa huruf wau namun kedua huruf tersebut ternyata memiliki perbedaan fungsi dan makna yang cukup mendasar di samping dari sisi amal-nya, maka sebelum penulis melangkah lebih jauh, penulis ingin mengajak para pembaca mengamati contoh-contoh kalimat sederhana di bawah ini:
سَارَ زَيْدٌ وَالْجَبَلَ
Zaid berjalan bersama gunung
تَبَاغَضَ زَيْدٍ وَعَمْرٌ
Zaid dan Amr saling membenci
لَعِبَ خَلِيلٌ كُرَّةَ الْقَدَمِ وَأَصْدِقَائُهُ/ وأَصْدِقَائَهُ
Kholil bernain bola bersama temannya
لاَتُسَافِرْ أَنْتَ وَخَالِدٌ/وَخاَلِدًا
Kamu jangan berjalan bersama kholid

Huruf wau yang terdapat dalam contoh pertama dapat dipastikan berupa wau maiyah sedang kata yang terletak sesudahnya (الْجَبَلَ) harus dibaca nashob dengan alasan kata tersebut berposisi sebagai maf’ul maah. Hal itu karena ketika seseorang mendengar kata-kata tersebut ia langsung dapat menebak bahwa kata yang terletak sesudah wau (الْجَبَلَ) tidak bisa diikut sertakan sebagai pelaku dari aktivitas yang dilakukan oleh kata yang ada di depannya (dengan kata lain, sebuah gunung tidak mungkin bisa berjalan seperti zaid).
Sedangkan huruf wau yang terdapat dalam contoh kedua dapat dipastikan adalah wau athaf dan kata yang terletak sesudahnya (عَبَّاسٌ ) harus dibaca rofa’ seperti kata di depannya (مَحْمُودٌ ) dengan alasan kata tersebut merupakan ma’thuf dari kata di depannya. Hal itu karena ketika seseorang mendengar kata-kata tersebut ia langsung dapat menebak bahwa kedua orang tersebut sama-sama membenci satu sama lain[1].
Sementara huruf wau yang terdapat dalam contoh ketiga tidak dapat dipastikan apakah termasuk wau maiyah ataupun wau athaf, sedangkan kata yang terletak sesudah huruf tersebut (أَصْدِقَائُهُ) juga tidak dapat dipastikan apakah diposisikan sebagai maf’ul maah atau ma’thuf,  hal itu karena seseorang tidak langsung bisa memastikan apakah kholil dan teman-temannya sama-sama bermain bola atau tidak (hanya kholil saja yang bermain bola sedangkan temannya hanya menyaksikan dia bertanding dari pinggir lapangan).
apabila makna yang dimaksud di balik teks tersebut adalah makna yang pertama (dengan kata lain, teman-temannya ikut bermain bola seperti kholil) maka isim yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai ma’thuf[2] daripada diposisikan sebagai maf’ul ma’ah.
Dan apabila makna yang dimaksud di balik teks tersebut adalah makna yang kedua (dengan kata lain, mereka hanya mendukung kholil dari pinggir lapangan namun tidak ikut bermain bola bersamanya) maka kata yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai maf’ul ma’ah [3]daripada diposisikan sebagai ma’thuf.   
 Sama seperti contoh di atasnya, huruf wau yang terdapat dalam contoh keempat juga tidak dapat dipastikan apakah merupakan wau maiyah ataupun wau athaf hal itu karena seseorang tidak dapat memastikan apakah kata tersebut  berisi larangan terhadap kholid atau lawan bicaranya untuk melakukan perjalanan jauh (baik dilakukan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri) atau hanya berisi larangan bagi lawan bicaranya untuk melakukan perjalanan jauh bersama dengan kholid di waktu yang sama.[4]
Apabila makna yang dimaksud di balik teks tersebut adalah makna pertama (larangan kepada dua belah pihak untuk melakukan perjalanan jauh baik bersamaan atau sendiri-sendiri) maka kata yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai ma’thuf[5].
dan apabila makna yang dimaksud  di balik teks tersebut adalah makna yang kedua (larangan kepada dua belah pihak untuk melakukan perjalanan jauh secara bersama-sama) maka kata yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai maf’ul ma’ah[6]
Dari beberapa contoh yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. kata yang terletak setelah wau maiyyah huruf terakhirnya harus dibaca nashob meskipun kata yang terletak sebelum huruf tersebut dibaca rafa’, nashob, ataupun jir. Contoh:
سَارَ زَيْدٌ وَعَمْرًا
Zaid berjalan bersama Amr
أَحْمِلُ الْقَلَمَ وَالْكِتَابَ
Saya bawa pulpen dan buku
نَهَانَا عَنِ الْبَوْلِ وَالْقِيَامَ
Kami dilarang kencang sambil berdiri
Sementara kata yang terletak sesudah wau athaf huruf terakhirnya harus ikut pada yang ada di depannya, contoh:
ذَهَبَ زَيْدٌ وَعَمْرٌ
Zaid dan Amr telah pergi
إشْتَرَيْتُ الْقَلَمَ وَالْكِتَابَ
Aku membeli pulpen dan buku
مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَثَابِتٍ
Aku berjumpa dengan Zaid dan tsabit
2.   huruf wau yang terdapat dalam struktur kalimat dapat dipastikan sebagai wau maiyah apabila isim yang terletak sesudahnya tidak mungkin bisa diikut sertakan menjadi pelaku dari aktivitas yang dilakukan oleh isim yang ada di depannya. Contoh:
نَامَ زَيْدٌ وَوِسَادَتَهُ                                                              "zaid tidur dengan bantalnya"
Huruf wau yang terdapat dalam contoh di atas dapat dipastikan merupakan wau maiyah karena bantal tidak mungkin bisa tidur seperti zaid.
3.    Huruf wau yang terdapat dalam struktur kalimat dapat dipastikan sebagai wau athof apabila huruf tersebut jatuh sesudah aktivitas-aktivitas yang tidak dapat terwujud tanpa melibatkan dua belah pihak atau lebih[7]. Contoh:
تحَابَّ الْفَتَى وَ الْفَتَاةُ                                        
"Seorang pemuda dan pemudi saling mencintai"
Huruf wau yang terdapat dalam contoh di atas dapat dipastikan merupakan wau athof karena perasaan tersebut (saling mencintai) hanya bisa terwujud apabila muncul dari dua belah pihak.  
4.  apabila isim yang terletak sesudah wau bisa diikut sertakan atau tidak diikut sertakan menjadi pelaku dari aktivitas yang dilakukan oleh isim yang ada di depannya maka huruf tersebut bisa saja merupakan wau maiyah ataupun wau athaf. Sedangkan isim yang terletak sesudah huruf tersebut bisa saja diposisikan sebagai maf’ul maah atau diposisikan sebagai ma’thuf. Contoh:
لَعِبَ خَلِيلٌ كُرَّةَ القَدَمِ وَأَصْدِقَائُهُ (وأَصْدِقَائَهُ)           
    
"Kholil bermain bola bersama temannya"
Huruf wau yang terdapat contoh tersebut bisa disebut sebagai wau maiyah ataupun wau athof karena kita tidak dapat memastikan apakah mereka ikut serta bermain bola bersama kholil atau hanya menonton dari pinggir lapangan.  


[1] Tidak mungkin hanya berasal dari salah satunya saja
[2] Lebih baik dibaca (أَصْدِقَائُهُ)
[3] Lebih baik dibaca (أَصْدِقَائَهُ)
[4] dengan kata lain, kedua orang tersebut boleh melakukan perjalanan jauh asalkan tidak  dilakukan secara bersama-sama.
[5] Lebih baik dibaca (خَالِدٌ)
[6] Lebih baik dibaca (خَالِدًا )
[7] Aktivitas-aktivitas tersebut antara lain adalah تَشَارَكَ (bekerjasama), تَعَانَقَ (saling berpelukan), تَخَاصَمَ (saling bermusuhan), تَبَاغَضَ  (saling membenci), تَبَاعَدَ  (saling berjauhan), dan lain-lain.

Minggu, 03 Februari 2019

MAF'UL FIH (DZARAF)

Definisi dan pembagian Maf’ul Fiih
Maf’ul fih atau lebih dikenal dengan dzaraf merupakan salah satu diantara beberapa cabang maf’ul dalam ilmu nahwu, dalam kitab jami’ durus al-arabiyah disebutkan bahwa dzaraf adalah isim yang dibaca nashab dengan mengira-ngira arti (فى) yang digunakan untuk menerangkan waktu serta tempat terjadinya sebuah peristiwa. Dzaraf terbagi dua macam yait2.      Dzaraf makan: yaitu kata yang digunakan untuk menerangkan tempat terjadinya sebuah peristiwa. Contoh: سِرْتُ فَوقَ الرملِ (aku berjalan di atas pasir)
Nama-nama waktu dalam bahasa arab (asma’ al-zaman)
Dalam bahasa arab, nama-nama waktu (أسماء الزمان) terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mukhtas: yaitu kata keterangan waktu yang dapat digunakan sebagai jawaban dari kata tanya kapan (مَتَى) dan berapa (كَمْ). Contoh:
١ـ وُلِدْتُ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ                                               aku dilahirkan pada hari selasa
٢ـ صُمْتُ شَهْرًا                                                      aku berpuasa selama satu bulan
Kata keterangan waktu dalam contoh pertama (يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ) disebut sebagai zaman mukhtas karena kata tersebut dapat digunakan sebagai jawaban dari kata tanya kapan kamu dilahirkan (مَتَى وُلِدْتَ)
Sementara kata keterangan waktu dalam contoh kedua (شَهْرًا) disebut sebagai zaman mukhtas karena kata tersebut dapat digunakan sebagai jawaban dari kata tanya berapa lama kamu berpuasa (كَمْ يَوْمًا صُمْتَ)
Adapun nama-nama waktu yang masuk dalam bab ini antara lain:
a.       يَوْمٌ    (hari)
b.      لَيْلَةٌ     (malam)
c.       أُسْبُوعٌ (sepekan)
d.      شَهْرٌ   (sebulan)
e.       سَنَةٌ    (setahun)
f.       غَدًا     (besok)
g.      بَارِحَةٌ   (tadi malam)
h.  غُدْوَةٌ   (waktu antara subuh dan terbitnya matahari)
i.        بُكْرَةً    (pagi)
j.     عَتَمَةُ    (sepertiga malam pertama)
k.      سَحَرَ    (waktu menjelang subuh)
2. Mubham: yaitu kata keterangan waktu yang tidak dapat digunakan sebagai jawaban dari kata tanya kapan (مَتَى) dan berapa (كَمْ). Contoh:
صُمْتُ زَمَانًا                                                                             "aku berpuasa di suatu masa"  
Adapun nama-nama waktu yang masuk dalam bab ini antara lain:
a.       وَقْتٌ (waktu)
b.      زَمَانٌ (zaman)
c.       حِينَ (ketika)
Nama-nama tempat dalam bahasa arab (asma’ al-makan)
Sama seperti nama-nama waktu, nama-nama tempat (أسماء المكان) dalam bahasa arab juga terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1.  Mukhtas: kata yang menunjukkan arti tempat yang dapat ditentukan dalam bentuk fisik, seperti rumah (بَيْتٌ), sekolah (مَدْرَسَةٌ), masjid (مَسْجِدٌ), dan lain-lain. Dan diantara isim-isim tersebut yaitu nama-nama negara, desa, kota, gunung, sungai, dan lautan.
2. Mubham: kata yang menunjukkan arti tempat yang tidak dapat ditentukan  dalam bentuk fisik, seperti:
a.    Nama-nama arah (أَسْمَاء الجهات), antara lain:
1)     اَمَامَ    (di depan)
2)     وَرَاءَ    (di belakang)
3)     فَوْقَ   (di atas)
4)     تَحْتَ   (di bawah)
5)     عِنْدَ    (di sisi)
6)     مَعَ     (bersamaan)
7)     اِزَاءَ     (di arah lurus)
8)     حِذَاءَ  (di sekitar)
9)     تِلْقَاءَ   (di arah lurusnya)
10)    حَوْلَ  (di sekitar)
11)     بَيْنَ   (di antara)

b.  Nama-nama jarak (أسْمَاء المقادير), antara lain:
1)    مَيْلاً  sepanjang penglihatan mata (yaitu 10 Gholawat/1848 M dalam fiqhul Islam)
2)    فَرْسَخًا  4 mil
3)    بَرِيْدًا 4 farsah

Ketentuan-ketentuan asma al-zaman wa al-makan
Adapun nama-nama waktu yang berbentuk isim dzahir (asma’ al-zaman al-dzahirah) semuanya dapat dinashabkan sebagai dzaraf, baik yang mubham maupun yang mukhtas. Adapun contoh yang pertama (dzaraf zaman mubham) yaitu:
عَمْلتُ حِينًا وَاسْتَرَحْتُ حِينًا
"aku bekerja pada suatu waktu dan aku istirahat pada waktu lain"
sedangkan contoh yang kedua (dzaraf zaman mukhtas) yaitu:
قَضَيْتُ يَوْمًاسَعِيدًا فِى الضَّوَاحِى وَأَمْضَيْتُ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى الرَّيْفِ
"aku menghabiskan hari menyenangkan di pinggiran kota dan menghabiskan hari kamis di kampung "
Namun apabila nama-nama waktu tersebut berbentuk isim dhomir maka isim tersebut tidak boleh dibaca nashab melainkan harus dijirkan dengan huruf (فِى). Contoh:
يَوْمُ الْجُمْعَةُ سِرْتُ فِيهِ                                        "hari jumat, aku berjalan di hari tersebut"
Sedangkan nama-nama tempat (asma’ al-makan) tidak dapat dinashabkan sebagai dzaraf kecuali dalam beberapa tempat berikut:
1.  Nama-nama tempat yang mubham, baik berupa arah yang enam (al-jihah al-sittah), maupun nama-nama jarak (asma’ al-maqodir). Contoh:
قُمْتُ أَمَامَ الأُسْتَاذِ                                                                    "aku berdiri di depan guru"
ناَمَ الْكَلْبُ خَلْفَ الْبَابَ                           "anjing itu tidur di belakang pintu"
سَافَرْتُ كِيلُومِتْرَيْنِ                                              "aku berjalan sejauh dua kilometer"
رَكِبْتُ مَيْلاً       
Aku berkendara sejauh 1 mil
Dengan demikian, maka nama-nama tempat yang mukhtash (asma’ al-makaniyah al-mukhtasoh) tidak dapat dinashobkan sebagai dzaraf tapi harus di-jir-kan dengan huruf (فِى). Contoh:
تَعَلَّمَ مُحَمَّدٌ فِى الْمَدْرَسَةِ                                        "muhammad belajar di sekolah"
نَامَتْ فَاطِمَةُ عَلَى السَّرِيرِ                                        "fathimah tidur di atas kasur"
2.   Isim makan yang terbentuk dari akar kata yang serupa dengan amil di depannya. Contoh:
حَلَلْتُ مَحَلَّ الرَّئِيسِ                                                      "aku menempati tempatnya ketua"
جَلَسْتُ مَجْلِسَ الأسْتَاذِ                                      "aku duduk di tempat duduknya guru"
Apabila isim makan tersebut tidak terbentuk dari akar kata yang sama dengan amilnya maka isim tersebut tidak dapat di-nashab-kan sesbagai dzaraf tapi harus di-jir-kan oleh huruf (فِى). Contoh: 
جَلَسْتُ فِى مَرْمَى الْكُرَّةِ   
aku duduk di tempat pelemparan bola.
Macam-macam dzaraf
Dzaraf, baik berupa kata keterangan tempat (dzaraf makan) atau waktu (dzaraf zaman), terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1.    Dzaraf mutasharrif: yaitu kata yang tidak hanya dapat diposisikan sebagai dzaraf atau yang menyerupainya (di-jir-kan dengan من), tapi juga dapat menempati jabatan lain dalam jabatan-jabatan kalimat isim seperti fail, mubtada’ , khabar, dll. Diantara dzaraf-dzaraf ini antara lain adalah:
يَوْم ـ شَهْر ـ سَنَةٌ ـ أُسْبُوعٌ ـ سَاعَةٌ ـ صَبَاح  ـ مَسَاءُ ـ نَهَار ـ لَيْلَةٌ ـ لَحْظَةٌ ـ مَيْلٌ ـ فَرْسَخٌ ـ 
كِيلُو مترـ يَمِينٌ ـ يَسَار ـ وَسَطَ ـ وَقْتٌ ـ زَمانٌ ـ شمال ـ جنوب ـ شرق ـ غَرْبٌ
Dzaraf-dzaraf ini bisa dinashabkan sebagai dzaraf (kata yang digunakan untuk menerangkan waktu atau tempat terjadinya sebuah peristiwa). Contoh:
 سِرْتُ كِيلُو مِتْرًا                                                                           "aku berjalan sejauh 1km"
تَقَعُ سِينَاءُ شَرْقَ قَنَاة سُوِيس                               "sinai terletak di timur terusan suez"
Sebagaimana juga bisa digunakan untuk selain dzaraf dan dii’rob menurut kedudukannya dalam kalimat (mubtada’ atau fail dst). Contoh:
الْكِيلُومِتْرُ أَلْفُ مِتْرٍ                                
  "satu kilometer setara dengan 1000 meter"
Kata (الْكِيلُومِتْرُ) dalam contoh di atas menjabat sebagai mubtada’ tanda rafa’-nya dengan dhammah karena termasuk isim mufrad.
جَاءَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ                                                                                  "hari jumat telah tiba"
Kata (يَوْمُ) dalam contoh di atas menjabat sebagai fail tanda rafa’nya dengan dhammah karena termasuk isim mufrad.
الشرقُ مهْدُ الأَدْيَانِ السَمَاوِيَةِ     
Timur adalah tempat lahirnya agama
Kata (الشرقُ) dalam contoh di atas menjabat sebagai mubtada’ tanda rafa’nya dengan dhammah karena termasuk isim mufrad.
2. Dzaraf ghairu mutasharrif: zaraf tersebut terbagi menjadi dua macam
a. Kata yang tidak dapat ditempatkan dalam jabatan apapun kecuali sebagai dzaraf, diantara dzaraf-dzaraf ini antara lain:
ـ ذَاتَ  يَوْمٍ ـ قَطُّ ـ عُوضُ
b.kata yang tidak dapat ditempatkan dalam jabatan apapun kecuali sebagai dzaraf, atau sesuatu yang menyerupainya(di-jirkan dengan huruf), diantara dzaraf-dzaraf ini antara lain:
قَبْلَ ـ بَعد ـ أَمَام ـ وراء ـ تحت ـ فوق ـ عند ـ أثناء

Adapun contoh-contoh yang berkaitan dengan dinasobkannya kata-kata tersebut sebagai dzaraf yaitu:
حَضَرْتُ قَبْلَ الْمِيعاد                                                        "aku datang sebelum waktunya"
سَأَرْجِعُ بَعْدَ الْمَغْرِبِ                               
"aku akan pulang sesudah maghrib

Sedangkan contoh-contoh yang berkenaan dengan di-jir-kan kata-kata tersebut dengan huruf (مِنْ) yaitu:
حَضَرْتُ مِنْ قَبْلِ الْمِيعاد                                              "aku datang sebelum waktunya"
سَأَرْجِعُ مِنْ بَعْدِ الْمَغْرِبِ                        
   "aku akan pulang sesudah maghrib"