Dalam tata bahasa arab, terdapat
beberapa jenis huruf wau yang dikenal oleh para ahli nahwu, salah satu
diantaranya ialah waw athaf dan wau maiyah. Kendati keduanya sama-sama
berupa huruf wau namun kedua huruf tersebut ternyata memiliki perbedaan fungsi dan makna
yang cukup mendasar di samping dari sisi amal-nya,
maka sebelum penulis melangkah lebih jauh, penulis ingin mengajak para pembaca mengamati
contoh-contoh kalimat sederhana di bawah ini:
سَارَ زَيْدٌ وَالْجَبَلَ
Zaid berjalan bersama gunung
تَبَاغَضَ زَيْدٍ وَعَمْرٌ
Zaid dan Amr saling membenci
لَعِبَ خَلِيلٌ كُرَّةَ الْقَدَمِ وَأَصْدِقَائُهُ/ وأَصْدِقَائَهُ
Kholil bernain bola bersama temannya
لاَتُسَافِرْ أَنْتَ وَخَالِدٌ/وَخاَلِدًا
Kamu jangan berjalan bersama kholid
Huruf wau yang
terdapat dalam contoh pertama dapat dipastikan berupa wau maiyah sedang
kata yang terletak sesudahnya (الْجَبَلَ) harus dibaca nashob dengan alasan kata
tersebut berposisi sebagai
maf’ul maah. Hal itu karena ketika seseorang mendengar kata-kata tersebut ia langsung
dapat menebak bahwa kata yang terletak sesudah wau (الْجَبَلَ) tidak bisa diikut sertakan sebagai pelaku dari aktivitas yang
dilakukan oleh kata yang ada di depannya (dengan kata lain, sebuah gunung tidak
mungkin bisa berjalan seperti zaid).
Sedangkan huruf wau
yang terdapat dalam contoh kedua dapat dipastikan adalah wau athaf dan
kata yang terletak sesudahnya (عَبَّاسٌ ) harus dibaca
rofa’ seperti kata di depannya (مَحْمُودٌ ) dengan alasan
kata tersebut merupakan ma’thuf dari kata di depannya. Hal itu karena ketika
seseorang mendengar kata-kata tersebut ia langsung dapat menebak bahwa kedua
orang tersebut sama-sama membenci satu sama lain[1].
Sementara huruf wau
yang terdapat dalam contoh ketiga tidak dapat dipastikan apakah termasuk wau
maiyah ataupun wau athaf, sedangkan kata yang terletak sesudah huruf
tersebut (أَصْدِقَائُهُ) juga tidak dapat dipastikan apakah diposisikan sebagai maf’ul
maah atau ma’thuf, hal itu
karena seseorang tidak langsung bisa memastikan apakah kholil dan
teman-temannya sama-sama bermain bola atau tidak (hanya kholil saja yang
bermain bola sedangkan temannya hanya menyaksikan dia bertanding dari pinggir
lapangan).
apabila makna yang
dimaksud di balik teks tersebut adalah makna yang pertama (dengan kata lain,
teman-temannya ikut bermain bola seperti kholil) maka isim yang terletak
sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai ma’thuf[2]
daripada diposisikan sebagai maf’ul ma’ah.
Dan apabila makna
yang dimaksud di balik teks tersebut adalah makna yang kedua (dengan kata lain,
mereka hanya mendukung kholil dari pinggir lapangan namun tidak ikut bermain
bola bersamanya) maka kata yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan
sebagai maf’ul ma’ah [3]daripada
diposisikan sebagai ma’thuf.
Sama seperti contoh di atasnya, huruf wau yang
terdapat dalam contoh keempat juga tidak dapat dipastikan apakah merupakan wau maiyah
ataupun wau athaf hal itu karena seseorang tidak dapat memastikan apakah kata
tersebut berisi larangan terhadap kholid
atau lawan bicaranya untuk melakukan perjalanan jauh (baik dilakukan secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri) atau hanya berisi larangan bagi lawan bicaranya untuk
melakukan perjalanan jauh bersama dengan kholid di waktu yang sama.[4]
Apabila makna yang
dimaksud di balik teks tersebut adalah makna pertama (larangan kepada dua belah
pihak untuk melakukan perjalanan jauh baik bersamaan atau sendiri-sendiri) maka
kata yang terletak sesudah wau lebih baik diposisikan sebagai ma’thuf[5].
dan apabila makna
yang dimaksud di balik teks tersebut
adalah makna yang kedua (larangan kepada dua belah pihak untuk melakukan
perjalanan jauh secara bersama-sama) maka kata yang terletak sesudah wau lebih
baik diposisikan sebagai maf’ul ma’ah[6].
Dari beberapa
contoh yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
1. kata yang terletak setelah wau maiyyah huruf
terakhirnya harus dibaca nashob meskipun kata yang terletak sebelum huruf
tersebut dibaca rafa’, nashob, ataupun jir. Contoh:
سَارَ زَيْدٌ وَعَمْرًا
Zaid berjalan bersama Amr
أَحْمِلُ الْقَلَمَ وَالْكِتَابَ
Saya bawa pulpen dan buku
نَهَانَا عَنِ الْبَوْلِ وَالْقِيَامَ
Kami dilarang kencang sambil berdiri
Sementara kata yang terletak sesudah wau athaf huruf terakhirnya harus ikut pada yang ada di depannya, contoh:
ذَهَبَ زَيْدٌ وَعَمْرٌ
Zaid dan Amr telah pergi
إشْتَرَيْتُ الْقَلَمَ وَالْكِتَابَ
Aku membeli pulpen dan buku
مَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَثَابِتٍ
Aku berjumpa dengan Zaid dan tsabit
2. huruf wau yang terdapat dalam struktur
kalimat dapat dipastikan sebagai wau maiyah apabila isim yang terletak sesudahnya
tidak mungkin bisa diikut sertakan menjadi pelaku dari aktivitas yang dilakukan
oleh isim yang ada di depannya. Contoh:
نَامَ
زَيْدٌ وَوِسَادَتَهُ "zaid tidur dengan bantalnya"
Huruf
wau yang terdapat dalam contoh di atas dapat dipastikan merupakan wau maiyah
karena bantal tidak mungkin bisa tidur seperti zaid.
3. Huruf wau yang terdapat dalam struktur
kalimat dapat dipastikan sebagai wau athof apabila huruf tersebut jatuh sesudah
aktivitas-aktivitas yang tidak dapat terwujud tanpa melibatkan dua belah pihak
atau lebih[7].
Contoh:
تحَابَّ الْفَتَى وَ الْفَتَاةُ
"Seorang pemuda dan pemudi saling mencintai"
Huruf wau yang terdapat
dalam contoh di atas dapat dipastikan merupakan wau athof karena perasaan tersebut
(saling mencintai) hanya bisa terwujud apabila muncul dari dua belah pihak.
4. apabila isim yang terletak sesudah wau bisa
diikut sertakan atau tidak diikut sertakan menjadi pelaku dari aktivitas yang
dilakukan oleh isim yang ada di depannya maka huruf tersebut bisa saja
merupakan wau maiyah ataupun wau athaf. Sedangkan isim yang terletak sesudah huruf tersebut
bisa saja diposisikan sebagai maf’ul maah atau diposisikan sebagai ma’thuf.
Contoh:
لَعِبَ خَلِيلٌ كُرَّةَ القَدَمِ وَأَصْدِقَائُهُ
(وأَصْدِقَائَهُ)
"Kholil bermain bola bersama temannya"
Huruf wau yang
terdapat contoh tersebut bisa disebut sebagai wau maiyah ataupun wau athof
karena kita tidak dapat memastikan apakah mereka ikut serta bermain bola bersama kholil atau
hanya menonton dari pinggir lapangan.
[1]
Tidak mungkin hanya berasal dari
salah satunya saja
[4]
dengan kata lain, kedua orang
tersebut boleh melakukan perjalanan jauh asalkan tidak dilakukan secara
bersama-sama.
[7] Aktivitas-aktivitas tersebut antara
lain adalah تَشَارَكَ
(bekerjasama), تَعَانَقَ
(saling berpelukan), تَخَاصَمَ
(saling bermusuhan), تَبَاغَضَ (saling membenci), تَبَاعَدَ (saling berjauhan), dan lain-lain.